Anatomi Sebuah Bahasa Nasional

Genesis Sebuah Bahasa Nasional: Dari Lingua Franca Melayu ke Bahasa Indonesia

 

Perjalanan Bahasa Indonesia adalah sebuah narasi tentang evolusi, adaptasi, dan pilihan politik yang sadar. Bahasa ini tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan puncak dari sejarah panjang yang berakar pada kebutuhan praktis komunikasi di salah satu kawasan paling beragam di dunia. Pemilihannya sebagai bahasa persatuan bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari pengembangan organik selama berabad-abad dan sebuah keputusan politik visioner yang membentuk identitas sebuah bangsa.

 

Akar Kuno: Bahasa Melayu sebagai Lingua Franca Nusantara

 

Jauh sebelum entitas politik bernama Indonesia terbentuk, bahasa Melayu telah memantapkan dirinya sebagai lingua franca—bahasa pergaulan—di seluruh kepulauan Nusantara. Selama berabad-abad, bahasa ini menjadi medium utama dalam perdagangan, diplomasi, dan interaksi antar-etnis di sepanjang jalur maritim Asia Tenggara. Bukti tertulis tertua dari bahasa Melayu Kuno ditemukan pada prasasti Kedukan Bukit di dekat Palembang, yang bertanggal 682 Masehi. Prasasti ini, yang ditulis dalam aksara Pallawa, menunjukkan penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa administrasi dan kekuasaan di bawah kemaharajaan Sriwijaya, sebuah kekuatan maritim yang dominan pada masanya.

Keberhasilan bahasa Melayu sebagai basantara (lingua franca) didorong oleh sifatnya yang fleksibel dan mudah beradaptasi. Bahasa ini memiliki varian yang lebih sederhana, sering disebut sebagai “Melayu Pasar”, yang dapat dengan mudah dipelajari dan digunakan oleh para pedagang dan pelaut dari berbagai latar belakang bahasa untuk kebutuhan komunikasi sehari-hari. Sifat egaliter ini, yang tidak memiliki tingkatan tutur yang rumit seperti yang ditemukan dalam bahasa-bahasa besar lainnya di Nusantara, menjadi kunci penyebarannya yang luas.

 

Era Transformasi: Islamisasi dan Pengaruh Kolonial

 

Kedatangan Islam ke Nusantara mulai abad ke-13 membawa gelombang transformasi baru bagi bahasa Melayu. Para pedagang dan mubalig Muslim mengadopsi bahasa Melayu sebagai media utama untuk penyebaran ajaran Islam. Proses ini tidak hanya memperkaya kosakata Melayu dengan ribuan kata serapan dari bahasa Arab, tetapi juga memperkenalkan sistem penulisan baru: aksara Jawi, sebuah adaptasi dari aksara Arab. Penggunaan aksara Jawi memperkuat status bahasa Melayu sebagai bahasa intelektual dan keagamaan di seluruh kawasan.

Periode kolonialisme, khususnya di bawah pemerintahan Belanda, secara paradoksal justru semakin memperluas dan menstandardisasi penggunaan bahasa Melayu. Menghadapi keragaman linguistik yang luar biasa di Hindia Belanda, pemerintah kolonial membuat keputusan pragmatis untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa administrasi tingkat rendah dan, yang lebih penting, sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah untuk pribumi (Bumi Putra) sejak tahun 1865. Kebijakan ini, meskipun dirancang untuk efisiensi pemerintahan, secara tidak sengaja menciptakan sebuah generasi terpelajar dari berbagai suku bangsa yang dapat berkomunikasi satu sama lain dalam satu bahasa yang sama. Pada saat yang sama, para misionaris dan administrator Eropa memperkenalkan aksara Latin, yang secara bertahap menggantikan aksara Jawi di wilayah Indonesia dan memfasilitasi pencetakan massal serta pendidikan modern, membuat bahasa ini lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.

 

Kelahiran Suara Bangsa: Sumpah Pemuda dan Mandat Konstitusional

 

Puncak dari evolusi bahasa Melayu menjadi bahasa nasional Indonesia terjadi pada awal abad ke-20, didorong oleh gelombang kesadaran nasional. Momen yang paling menentukan adalah Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Pada hari itu, para pemuda dari berbagai organisasi daerah dan suku bangsa secara sadar dan kolektif membuat sebuah ikrar yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Butir ketiga dari sumpah tersebut berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Momen ini dianggap sebagai tanggal “kelahiran” simbolis Bahasa Indonesia. Para pemuda nasionalis secara sadar mengangkat bahasa Melayu, memberinya nama baru—Bahasa Indonesia—dan mendeklarasikannya sebagai simbol persatuan dan identitas bangsa yang baru.

Pemilihan bahasa Melayu, yang pada saat itu merupakan bahasa ibu bagi minoritas penduduk , adalah sebuah langkah politik yang sangat cerdas. Para pendiri bangsa menghindari potensi konflik dan kecemburuan etnis yang mungkin timbul jika mereka memilih bahasa Jawa, bahasa kelompok etnis terbesar yang memiliki struktur hierarkis yang kompleks. Bahasa Melayu, dengan sejarahnya sebagai bahasa pergaulan yang netral dan egaliter, dapat diterima oleh semua pihak sebagai milik bersama.

Pengukuhan status Bahasa Indonesia mencapai puncaknya setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan, Bahasa Indonesia secara resmi ditetapkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Dengan mandat konstitusional ini, Bahasa Indonesia tidak lagi hanya menjadi simbol persatuan, tetapi juga menjadi pilar fundamental bagi administrasi, hukum, dan kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia yang baru lahir.

1 thought on “Anatomi Sebuah Bahasa Nasional”

Leave a Reply to A WordPress Commenter Cancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top